Image Hosted by ImageShack.us

Iklan

Image Hosted by ImageShack.us

Selasa, 29 Juli 2008

Lawar Bali

Lawar adalah makanan tradisional Bali yang sudah sangat terkenal di daerah Bali, karena disamping digunakan sebagai sajian dan hidangan juga telah dijual secara luas di rumah-rumah makan dengan merek lawar Bali. Lawar adalah salah satu jenis lauk pauk yang dibuat dari daging yang dicincang, sayuran, sejumlah bumbu-bumbu dan kelapadan terkadang di beberapa jenis lawar diberikan unsur yang dapat menambah rasa dari lawar itu ialah darah dari daging itu sendiri, darah tersebut dicampurkan dengan bumbu-bumbu tertentu sehingga menambah lezat lawar tersebut. Lawar sendiri tidak dapat bertahan lama makanan ini jika didiamkan di udara terbuka hanya bertahan setengah hari.
Penamaannya bervariasi, biasanya berdasarkan jenis daging yang digunakan atau jenis sayurannya. Bila yang digunakan daging babi maka lawar yang dihasilkan disebut lawar babi., demikian juga bila yang digunakan sayur nangka, maka lawarnya diberi nama lawar nangka. Ada juga pemberian namanya berdasarkan warna lawarnya yaitu lawar merah bila warna lawarnya merah, lawar putih bila warna lawarnya putih dan ada lawar yang bernama lawar padamare, yaitu sejenis lawar yang dibuat dari campuran beberapa jenis lawar. Lawar disajikan sebagai teman nasi bersama jenis lauk-pauk lainnya.

Penjor

Hari Galungan identik juga dengan Penjor. Biasanya disetiap rumah di bali menjelang Hari Raya Galungan terdapat penjor,sama halnya dengan di kampung halaman saya yaitu desa Tamblang. Penjor adalah simbul Gunung Agung
segala pala bungkah - pala gantung dan sajen pada sanggah penjor, melambangkan persembahan terhadap Bhatara di Gunung Agung (Bhatara Giri Putri). Seperti kita ketahui, Gunung adalah sumber dari kesuburan dan akhirnya ke kemakmuran.
Hanya penjor yang menggunakan unsur lengkap (sanggah, padi, pala bungkah dan sebagainya) dapat dipergunakan dalam upacara keagamaan menurut fungsinya.
Penjor untuk dekorasi (bukan Upacara keagamaan) tidak diperbolehkan mempergunakan unsur- unsur tersebut di atas, tetapi hanya menggunakan hiasan- hiasannya saja (bila dengan sampian hendaknya tanpa porosan).

Memaknai Hari Raya Galungan dan Kuningan

GALUNGAN merupakan hari Pewedalan jagat, yang akan dirayakan pada hari Rabu keliwon wuku Dungulan, kita melakukan pemujaan pada Tuhan atas terciptanya Jagat dengan segala Isinya oleh Sang Hyang Widhi. Persembahan dan pemujaan terhadap Sang Hyang widhi, dilakukan dengan hati yang tulus dan penuh kesucian, guna memohon kebahagiaan hidup dan agar dapat menjauhkan diri dari Awidya atau kegelapan. Sehari sebelum Galungan disebut dengan Penampahan, maka mulai saat ini segala nafsu harus dihilangkan dari badan sebelum menyambut hari suci besoknya yaitu Galungan. Manusia dilahirkan dalam keadaan Awidya atau kegelapan, yaitu sifat nafsu murka, irihati, congkak, angkara. Semua sifat ini disimbulkan sebagai Sang Kala Tiga, yang diberi gelar yaitu: Pertama, Sang Bhuta Galungan yang berusaha menyerang dan menggoda kita pada hari Minggu atau Penyekeban. Yang Kedua, yaitu Sang Bhuta Dungulan, yang berusaha menyerang atau menggoda kita pada hari Senin atau Penyajaan. Dan yang Ketiga, adalah Sang Bhuta Amangkurat, yang berusaha menyerang kita pada hari Selasa atau hari Penampahan Galungan. Dan kita juga berusaha lebih kuat lagi untuk mengalahkan godaan-godaan itu. Dan kesadaran umat akan kekuatan suci dibangun dengan "Abhayakala" yaitu melakukan upacara Penyucian diri dari kegelapan atau kala tiga itu. Yang bertujuan untuk membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh Sang Kala Tiga. Dan untuk mengharmoniskan kesejahteraan bhuwana agung dan bhuwana alit. Kita memohon pembersihan dan pensucian dari Hyang Widhi Melalui upacara. Dan upacara ini diakhiri dengan "ngayab dan natab". yaitu menghaturkan dan memohon bersama-sama agar dilimpahkan karunia berupa keselamatan untuk semua anggota keluarga, agar kemudian lebih dapat meningkatkan kesatuan pribadinya serta mampu menaklukkan dan menguasai segala macam godaan, baik yang datang dari luar maupun yang timbul dari dalam diri kita sendiri. Hal inilah yang disebut dengan kemenangan Dharma Melawan Adharma. Tujuan hidup kita sebagai umat Hindu adalah untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat, dan tujuan hidup itu dalam ajaran agama Hindu direalisasikan melalui ajaran Catur Purusa Artha yaitu empat tujuan hidup manusia yang terdiri dari Dharma/Kebenaran, Artha/harta benda untuk mensejahterakan kehidupannya, kama/keinginan atau nafsu dan moksa yang merupakan tujuan akhir dari hidup manusia. Dengan demikian, tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu dapat kita klasifikasikan menjadi dua yaitu tujuan secara duniawi dan tujuan secara rohani. Dalam hal ini keempat tujuan itu merupakan satu kesatuan dan selalu ditunjang oleh Dharma. Harta yang diperlukan untuk menunjang kehidupan, jika diperoleh tanpa berdasarkan dharma, maka harta itu tidak akan berarti, demikian juga halnya dengan kama, dan Dharma pulalah yang menjadi landasan hidup untuk mencapai moksa yang merupakan kemerdekaan atau kelepasan/terbebasnya manusia dari ikatan duniawi dan kelahiran kembali. Terkait dengan tujuan hidup manusia dalam ajaran agama Hindu yaitu untuk mencapai kebebasan/kemerdekaan yaitu merdekanya roh dari samsara, maka dalam pelaksanaan hari raya Galungan dan kuningan yang mengandung makna kemerdekaan atau kelepasan. Sedangkan untuk mencapai kemerdekaan, pada umumnya didahului oleh suatu pertempuran atau peperangan dan pertarungan. Ada dua mitologi yang dihubungkan dengan perayaan Galungan dan Kuningan sekaligus dengan peperangannya untuk mencapai kemenangan atau kemerdekaan. Kedua mitologi itu adalah peperangan antara raja Mayadanawa melawan Bhatara Indra dan pewarah-warah Bhatari Durga kepada Sri Jaya Kasunu. Dalam Lontar Jaya Kasunu diceritrakan bahwa sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan Galungan dan Kuningan pernah tidak dilaksanakan, oleh karena raja-raja pada jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat pendek-pendek.

Sabtu, 05 Juli 2008

Reinkarnasi

Dalam agama Hindu, filsafat reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka. Dalam filsafat Hindu dan Buddha, proses reinkarnasi memberi manusia kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi apabila manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya
Dalam filsafat agama Hindu, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati. Selain diberi kesempatan menikmati, manusia juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya (kualitas).
Jadi, lahir kembali berarti lahir untuk menanggung hasil perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam filsafat ini, bisa dikatakan bahwa manusia dapat menentukan baik-buruk nasib yang ditanggungnya pada kehidupan yang selanjutnya. Ajaran ini juga memberi optimisme kepada manusia. Bahwa semua perbuatannya akan mendatangkan hasil, yang akan dinikmatinya sendiri, bukan orang lain.
Yang bisa berinkarnasi itu bukanlah hanya jiwa manusia saja. Semua jiwa mahluk hidup memiliki kesempatan untuk berinkarnasi dengan tujuan sebagaimana di atas (menikmati hasil perbuatannya di masa lalu dan memperbaiki kulaitas hidupnya).
Proses reinkarnasi
Pada saat jiwa lahir kembali, roh yang utama kekal namun raga kasarlah yang rusak, sehingga roh harus berpindah ke badan yang baru untuk menikmati hasil perbuatannya. Pada saat memasuki badan yang baru, roh yang utama membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang terdahulu, yang mengakibatkan baik-buruk nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang lahir kembali tidak akan mengingat kehidupannya yang terdahulu agar tidak mengenang duka yang bertumpuk-tumpuk di kehidupan lampau. Sebelum mereka bereinkarnasi, biasanya jiwa pergi ke sorga atau ke neraka.
Dalam filsafat agama yang menganut faham reinkarnasi, neraka dan sorga adalah suatu tempat persinggahan sementara sebelum jiwa memasuki badan yang baru. Neraka merupakan suatu pengadilan agar jiwa lahir kembali ke badan yang sesuai dengan hasil perbuatannya dahulu. Dalam hal ini, manusia bisa bereinkarnasi menjadi makhluk berderajat rendah seperti hewan, dan sebaliknya hewan mampu bereinkarnasi menjadi manusia setelah mengalami kehidupan sebagai hewan selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Sidang neraka juga memutuskan apakah suatu jiwa harus lahir di badan yang cacat atau tidak.
Akhir proses reinkarnasi
Selama jiwa masih terikat pada hasil perbuatannya yang terdahulu, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yakni lepas dari siklus reinkarnasi. Maka, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi tersebut, roh yang utama melalui badan kasarnya berusaha melepaskan diri dari belenggu duniawi dan harus mengerti hakikat kehidupan yang sebenarnya. Jika tubuh terlepas dari belenggu duniawi dan jiwa sudah mengerti makna hidup yang sesungguhnya, maka perasaan tidak akan pernah duka dan jiwa akan lepas dari siklus kelahiran kembali. Dalam keadaan tersebut, jiwa menyatu dengan Tuhan (Moksha).