Image Hosted by ImageShack.us

Iklan

Image Hosted by ImageShack.us

Selasa, 13 Mei 2008

Nilai Anak dalam Keluarga

SANG Hyang Candra trenggana pinaka dipa memadangi ri kalaning wengi, Sang Hyang Surya sedeng prebase pinake dipa memadangi ri bhumi mandala, Widya sastra sudharma dipanikanang tri bhuwana sumena prabaswara, Yan ring putera, suputera sadhu gunawan memadangi kula wandhu wandhana. Artinya: Bulan dan bintang sebagai pelita yang menerangi di malam hari, matahari yang sedang terbit sebagai pelita menerangi bhumi, ilmu pengetahuan dan sastra, sebagai pelita menerangi dunia secara sempurna. Di kalangan putera, putera utama (suputera) sebagai pelita menerangi seluruh keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga dan anak umumnya menjadi topik pembicaraan yang hangat apabila dua orang sahabat lama baru berjumpa. Jarang sekali dalam perjumpaan semacam itu antara dua orang sahabat membincangkan soal harta kekayaan, berapa punya mobil, berapa hektar punya tanah dan sebagainya. Mereka saling bertukar pengalaman membesarkan anak, cara menanamkan nilai-nilai agama, moral dan etika, menceritakan prestasi dan keunggulan anak mereka masing-masing. Hal tersebut membuktikan bahwa anak mempunyai nilai yang sangat amat penting dalam kehidupan seseorang atau suatu keluarga, melebihi nilai harta kekayaan. Nilai anak bagi orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari kenyataan bahwa anak menjadi tempat bersandar orang tua untuk mencurahkan cinta kasih yang tulus dan murni dan sebagai sumber kebahagiaan keluarga. Menurut ajaran agama Hindu, perkawinan bertujuan untuk memperoleh putera, terutama putera yang suputera (anak yang utama dan yang baik) untuk menyambung keturunannya. Nilai anak dalam tulisan ini dimaksudkan adalah peranan yang dimainkan oleh anak dalam kehidupan orang tua, saat orang tua masih hidup maupun setelah orang tua meninggal. Anak bagi orang tua yang masih hidup mempunyai peranan yang sangat strategis dari segi religius, sosial, ekonomi dan psikologis. Segi religius mengandung pengertian sebagai kewajiban membayar hutang kepada orang tua, karena dengan mempunyai anak, barulah segala macam kesulitan dan penderitaan yang pernah dialami orang tua dapat dirasakan. Segi sosial, anak terutama anak laki-laki yang sudah dewasa dapat menggantikan orang tuanya yang sudah lanjut usia untuk memenuhi kewajiban-kewajiban pada organisasi sosial keagamaan di masyarakat. Segi ekonomi, suami sebagai kepala keluarga bertanggung jawab untuk menghasilkan barang dan jasa yang akan dikonsumsi bersama. Kegiatan ini seringkali dibantu oleh istri dan anak-anak. Segi spikologis, disaat orang tua seharian bekerja tentu sangat melelahkan, namun rasa lelah itu akan terhapus dengan kehadiran anak yang sehat, lucu dan ceria. Dalam kitab Adiparwa diceritakan bahwa setelah mempunyai cuculah seseorang baru mencapai tujuan hidupnya, seperti diceritakan pertemuan si Jaratkaru dengan arwah leluhurnya yang hampir jatuh ke neraka. Pada pertemuan itu, arwah leluhurnya berkata: "Beginilah akibatknya mengapa saya putus hubungan dengan dunia atman, kini tergantung pada sebilah bambu, hampir jatuh ke neraka. Adanya sebilah bambu ini karena saya sebenarnya mempunyai seorang keturunan, Jaratkaru namanya, tetapi ia berkeinginan untuk tidak kawin (sukla brahmacari). Jaratkaru menjawab: "Ada jalan bagi tuan pergi ke sorga. Janganlah ragu dan takut, hamba akan berhenti menjalankan sukla brahmacari, hamba akan kawin dan memperoleh anak." Bila dikaji secara lebih mendalam seseorang yang telah mencapai tujuan hidupnya bukan semata-mata sudah memiliki keturunan (anak atau cucu), melainkan dalam konsep ajaran Suputra, seorang anak diharapkan mampu berpikir, berkata dan berbuat yang dapat membuat orang tua / keluarga bahagia lahir batin (gumawe sukanikang wwang atuha), baik orang tua yang masih hidup maupun orang tua yang sudah meninggal, sebagaimana yang diamanatkan "Di kalangan putera, putera utama (suputera) sebagai pelita menerangi seluruh keluarga

Tidak ada komentar: